Resensi Buku: Hubungan Aceh dan Turki dari Masa ke Masa



“DR MEHMET OZAY BERPENDAPAT BAHWA TIDAK ADA INFERIOR DAN SUPERIOR DALAM HUBUNGAN ACEH DAN TURKI. ITU HUBUNGAN TIMBAL BALIK YANG SEIMBANG.”

RESENSI BUKU

Judul: Kesultanan Aceh dan Turki – Antara Fakta dan Legenda 
Tebal: 130 halaman 
Penulis: Mehmet Ozay ISBN: 978-967-12971-0-0 
Penerbit: Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) 
Percetakan: Kuala Lumpur, Malaysia.


Oleh: Ariful Azmi Usman 

Peserta harman Internship Program, selama Agustus 2014, di Istanbul Turki, Mahasiswa FISIP Unsyiah.

Saya membaca buku ini sekitar satu tahun yang lalu sebelum resensi ini saya tulis. Singkat, padat dan jelas, mungkin kata yang cocok untuk keseluruhan isi buku ini yang menceritakan hubungan Aceh dan Turki, bahasa yang ringan, membuat siapa saja bisa memahami apa isi dari buku ini.

Mendengar kalimat ‘Kesultanan Aceh dan Turki’, sebagian besar orang akan teringat tentang istilah meriam Lada Sicupak, mereka akan berpikir tentang bagaimana terjadinya hubungan antara kedua negara yang sangat berjauhan, dan orang akan bertanya, benarkah itu pernah terjadi?

Penting sekali untuk menggambarkan apa sebenarnya maksud dari ungkapan Lada Sicupak. Pada saat utusan Aceh tiba di Konstantinopel, tahun 1565, Sulaiman Yang Adil, Sultan Turki Utsmani, saat itu beliau sedang memimpin langsung pasukan, dalam peperangan melawan Hungaria di medan perang Szigetwar,” di Eropa Timur.

Menanti masa berlangsungnya peperangan tersebut serta mangkatnya Sultan Sulaiman menyebabkan utusan Aceh itu menghabiskan waktu lebih lama di Konstantinopel. Dengan usaha sendiri, mereka menyewa tempat dan menafkahi diri mereka sendiri dengan menjual komoditas yang mereka bawa bersama dengan hadiah yang akan dipersembahkan kepada Sultan.

Setelah Selim II, putra Sulaiman Yang Adil, selesai dilantik, barulah utusan Aceh memperoleh kesempatan untuk melakukan kunjungan resmi ke istana Topkapi, yakni dua tahun setelah kedatangan mereka di Turki.”

Untuk menafkahi diri mereka selama berada di Turki, mereka terpaksa menjual semua komoditas lada yang mereka miliki termasuk bagian yang sebenarnya telah mereka niatkan untuk dihadiahkan kepada Sultan. Yang tersisa di tangan mereka hanyalah secuil (segenggam), dan itulah yang dapat mereka tawarkan kepada Sultan yang baru saja naik tahta.

Dalam pertemuan resmi tersebut, Sultan Turki Utsmani memutuskan untuk mengupayakan bantuan militer ke Aceh yang di antaranya termasuk sebuah meriam yang secara simbolis dinamakan ‘lada sicupak’.

Menarik juga untuk mencari tahu apakah utusan Aceh ada menulis sebarang karya sastra (tulisan) mengenai kehidupan, pengalaman, dan pengamatan mereka dan lain-lain selama mereka menghabiskan waktu yang cukup lama di Konstantinopel. Hal ini perlu untuk ditelusuri dan diungkap.

Di atas adalah sepenggal tulisan yang saya kutip dari buku karya Mehmet Ozay ini, pada halaman 24. Selain kisah di atas, dalam bukunya juga, Mehmet Ozay sebagai orang Turki yang sudah mengunjungi Aceh saat setelah tsunami, bisa melakukan penelitian langsung dan menulis sesuai fakta yang ada. Penulis juga melampirkan bukti peninggalan-peninggalan Turki di Aceh dari ujung barat hingga ujung timur. Di samping referensi-referensi yang sangat lengkap dengan apa yang penulis utarakan dalam bukunya.

Dalam buku ini, penulis berusaha untuk tidak mengulas isu-isu politik, juga tidak tentang fakta-fakta mengenai gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh pada 2004. Melainkan, selaku orang Turki, penulis terus mencoba untuk mencari bukti-bukti tentang peninggalan-peninggalan mengenai hubungan kedua kesultanan, penulis ingin menggiring pembaca untuk sama-sama bisa membuktikan bahwa apa yang terjadi antara Aceh dan Turki adalah sebuah hubungan sejarah dua bangsa yang berperadaban, dengan bukti-bukti yang ada, penulis secara tidak langsung mengatakan bahwa hungan Aceh dan Turki bukanlah khayalan.

Hal yang menarik dalam buku ini adalah, ketika sebagian besar kalangan baik akademisi maupun masyarakat biasa berpendapat bahwa, hubungan Aceh dan Turki terjadi karena Aceh meminta bantuan kepada Turki, dalam hal ini meminta meriam kepada Turki untuk melawan Portugis.

Penulis dalam buku ini memberi pandangan berbeda, menurutnya penyederhanaan yang demikian telah membawa kita pada sebuah pemahaman yang dangkal tanpa ingin mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Menariknya, penulis membantah anggapan tersebut dan berpendapat bahwa tidak ada inferior dan superior dalam hubungan Aceh dan Turki.[] /PADEKUNENG

Ariful Azmi Usman
Email: arfa_pro@yahoo.com
Twitter dan Instagram: @ariful76

Komentar