Pohon Geulumpang (Kohlerboom), di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Sumber gambar: Kitlv. 1889
|
SICUPAK.COM - ‘Oh God ik ben getroffen’ (Oh Tuhan Aku Kena). Potongan kata-kata terakhir Kohler usai dadanya ditembus peluru dari penembak jitu (Sniper) Aceh. Sejarah mencatat, 45 tentara Belanda tewas dalam penyerangan itu, delapan diantaranya merupakan perwira. Sementara 405 lainnya yang luka-luka (23 perwira). Agresi pertama Belanda ke Aceh gagal total. Mirisnya, saksi bisu terakhir tersebut kini telah tiada, pohon itu kini telah ditebang oleh proyek pembangunan.
Tersiarnya kabar Pohon geulumpang (sterculia foetida) di depan Masjid Baiturrahman ditebang kontraktor proyek pelaksana perluasan masjid, sontak membuat perbincangan hangat lahir di warung-warung kopi di Aceh. Terlebih di media sosial, masyarakat dunia maya juga memperbincangkan hal serupa. Tidak sedikit pula yang menilai bahwa hal tersebut merupakan upaya menghilangkan khasanah sejarah Aceh.
Satu hari setelahnya, penulis coba menelusuri jejak sejarah yang dijadikan situs sejarah perang Belanda di Aceh tersebut. Saat penulis tiba di gerbang utara Masjid, tempat pohon tersebut semula berada, semua sisi pekarangan masjid telah pun dipagari seng dan tak mungkin untuk dilewati. Sejumlah alat berat juga terlihat dari sisi atas pembatas sedang beraksi untuk proyek Rp. 1,4 Triliun (perluasan Masjid Raya) itu.
Jelas terlihat, tidak ada lagi pohon bersejarah itu. Hanya ada alat berat yang menjulang ke langit menampakkan tiang-tiangnya. Chinsaw menjadi alat yang digunakan untuk merobohkan pohon tersebut pada Kamis (19/11/2015) lalu, pohon Geulumpang ini sebenarnya bukanlah pohon yang telah ada saat Kohler tumbang dibawahnya, tetapi pohon tersebut ditanam kembali pada 14 Agustus 1988 saat Prof Dr Ibrahim Hasan menjabat Gubernur Aceh.
Ibrahim Hasan merupakan guru besar bidang ekonomi yang pernah menjabat rektor Universitas Syiah Kuala dan juga pernah menjadi kepala Bappeda Provinsi Aceh.
Ramli A Dally, mantan staf Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) kelahiran tahun 1940-an. Minggu (22/11/2015) di Banda Aceh membenarkan bahwa pohon tersebut memang sudah pernah ditebang kali pertama sekitar tahun 1942 saat masa kependudukan Jepang. “Kemudian pak Gubernur menanam kembali dengan alasan mengenang perjuangan para pejuang Aceh di masa Belanda yang berhasil memukul mundur penjajah yang ingin menguasai negeri Aceh.”
Lantas, Seberapa pentingkah pohon itu bagi Bangsa Aceh?
Pada tahun 1871, Belanda dan Inggris mencapai suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Traktat Sumatra. Menurut perjanjian ini, Belanda diberi keleluasaan memperluas wilayahnya di seluruh Sumatra, termasuk ke wilayah kesultanan Aceh yang selama itu tidak boleh ada yang mengusik-usik. Hingga pada 26 Maret 1873, Belanda mengumumkan maklumat perangnya terhadap Aceh.
Sebelum Belanda melakukan penyerangan ke Aceh, kabar tentang Aceh yang diketahui oleh Belanda ternyata masih simpang siur, Belanda buta akan kekuatan bangsa Aceh saat itu. Hal ini dituliskan Mohammad Said dalam bukunya berjudul Aceh Sepanjang Abad, bagaimana sebenarnya situasi Aceh pada saat sekitar akhir Maret 1873, tidak diketahui pasti oleh Belanda.
Misalnya suatu informasi menyebut bahwa Aceh hanya mempunyai lima pucuk meriam tua dari zaman Iskandar Muda, hanya tiga diantaranya yang masih bisa diletupkan. Sebaliknya, informasi lain disampaikan oleh kakitangannya sendiri yang setia, Moh. Arifin mengatakan bahwa Aceh dalam waktu-waktu terakhir telah berhasil memasukkan 28.000 pucuk senapan dengan 20.000 prajurit siap tempur.
Singkat kata, Angkatan Perang Belanda yang telah direncanakan menyerbu Aceh dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R. Kohler, sebagai Panglima Perang Tertinggi. Kohler sebagai pahlawan perang Belanda yang dipandang gagah perkasa, oleh hasil yang dicapainya di tahun 1857 ketika ekspedisi ke Lampung. Bersama ajudan Kapten Romswinckel dan Mayor Laut Marinkelle.
Armada Belanda dikendalikan oleh Kapten Laut J.F. Koopman yang kekuatannya berjumlah 6 kapal perang (Djambi, Citadel van Antwerpen, Marnix, Coehoorn, Soerabaja, Soematera), 2 buah kapal angkutan laut pemerintah (Siak dan Bronbeek), 5 barkas, 8 kapal peronda, 1 kapal komando, 6 kapal pengangkut, serta 5 kapal layar, masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut, yaitu 3 untuk pasukan alteleri, kavaleri dan pekerja-pekerja, 1 buah untuk amunisi dan perlengkapan, serta 1 buah untuk persiapan orang-orang sakit (cidera).
Armada laut Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Kohler mulai menyerang Aceh lewat pantai Ceureumen di Ulee Lheue pada tanggal 5 April 1873.
Begitu pasukan Belanda melemparkan sauhnya ke tepi pantai, pasukan Aceh langsung menyambutnya dengan gempuran-gempuran hebat yang datang silih berganti.
Bahkan H.C. Zentgraaf menggambarkan keberanian pasukan Aceh di medan tempur. Dia menyebut Rakyat Aceh berperang seperti singa yang sedang mengamuk (vechten als leeuwen) dan tidak akan pernah tunduk seluruhnya kepada pemerintah Belanda, sehingga tidaklah berlebih-lebihan, apabila van den Berg dan kawan-kawannya menulis bahwa “dalam cinta tanah air tidak kalah orang Aceh dengan bangsa apapun di dunia ini yang menjunjung tinggi kemerdekaan bangsa dan nusanya”.
“Tembakan meriam kapal Belanda menyebabkan pasukan Aceh mundur sampai Masjid Raya yang kemudian mereka pertahankan dengan gigih,” tulis Kamal A. Arif dalam bukunya Ragam Citra Kota Banda Aceh.
Kokohnya pertahanan Aceh saat itu di areal Masjid membuat pihak Belanda melakukan penyerangan hebat, Belanda menduga bahwa di situlah letak istana sultan (Dalam) yang menjadi inti pertahanan Kerajaan Aceh.
Gagal menembus pertahanan Aceh, Jenderal Kohler memerintahkan untuk membakar masjid yang beratap ijuk dan sebagian berdinding kayu itu (sebelum dibangun kembali oleh Belanda). Lantas, Masjid ini diduduki oleh Belanda hingga 14 April 1873, sementara kekuatan pasukan Aceh dipusatkan untuk mempertahankan istana Sultan Mahmud Syah (1870-1874 M).
Berhasilnya pasukan Belanda merebut Masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu, ternyata tidaklah mengendurkan semangat tempur pasukan Aceh. Melainkan menambah motivasi untuk terus berjuang melawan penjajahan Belanda. Ketika Köhler memberikan kesempatan kepada pasukannya untuk beristirahat, pasukan Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Imuem Lueng Bata kembali memperlihatkan keberanian dan kegigihannya menggempur pasukan Belanda di sekitar masjid.
Tembakan dan hunusan rencong, serta pedang mewarnai pertempuran ini bersamaan dengan takbir “Allahu Akbar”. Hasilnya sungguh di luar dugaan pihak Belanda, Masjid Baiturrahman berhasil direbut kembali dalam pertempuran yang terjadi tanggal 14 April 1873 dan yang paling menyedihkan mereka adalah Jenderal Kohler sendiri tewas diterjang peluru prajurit Aceh.
Kejadiannya, ketika meneropong ke arah keraton dari depan Masjid Raya, Jenderal Kohlertumbang menemui ajalnya melalui satu peluru dari penembak jitu (Sniper) Aceh, Teuku Njak Radja Leung Bata.
Hal ini juga menjadi bukti bahwa persenjataan Aceh saat itu sudah maju, dan tidak diprediksi oleh Belanda. Teuku Njak Radja Leung Bata salah satu sniper Aceh yang luput dari sejarah Aceh sendiri adalah anak murid dari Tgk Chik Lueng Bata (Salah satu ulama mujahid yang mempertahankan kota Lueng Bata).
Teuku Njak Radja Lueng Bata yang bersembunyi tidak jauh dari jarak Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler melepaskan satu tembakan (sniper) dan tembakan itu tepat mengenai lensa keker yang sedang dipegang Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler, lalu menembuskan dadanya. Jenderal Rudolf Köhler pun tewas. ‘Oh God ik ben getroffen’ (Oh Tuhan Aku Kena).
“Jenderal Kohler pagi ini tewas, perlawanan sengit, musuh gigih, dengan meriam besar keraton dipertahankan secara luar biasa. Dari segala penjuru tentara kita diserang.” Kutipan surat kawat yang dikirim oleh Komisaris Niauwenhuijzen kepada Gubernur Jenderal di Bogor, 14 April 1873 usai Kohler tewas.
Tewasnya Kohler membuat pasukan Belanda panik. Mental mereka jatuh setelah panglimanya tewas. Kesempatan itu digunakan pasukan Aceh untuk terus menyerang Belanda dengan jihad fi sabilillah.
Akhirnya keinginan Belanda untuk menguasai Dalam pun menemui kegagalan, mereka terpukul mundur dan menderita kekalahan besar. Tiga hari setelah Kohler tiada, Belanda mempersiapkan segala perlengkapan untuk mengundurkan diri ke arah pantai. Setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka tanggal 29 April 1873 angkatan perang Belanda meninggalkan Aceh dalam kecamuk duka.
Kebijakan pemerintah daerah atau pelaksana proyek yang menebang dan memindahkan prasastiKohler, yang melambangkan perjuangan gigih bangsa Aceh pun lenyap seketika, sejumlah pihak pun menyesalinya. Karena pohon yang disebut oleh Belanda sebagai ‘Pohon Kohler’, sebenarnya adalah sebagai bukti sejarah bahwa Aceh pernah mengalahkan Belanda. Meski pihak penebang berjanji akan menyemai kembali pohon tersebut nantinya, namun untuk abad 21, tak ada yang bisa menjamin janji tersebut akan terealisasikan. Kohler terakhir pun telah tumbang.
“Bak geulumpang atau Pohon kohler yang ada di pekarangan Mesjid Raya itu adalah pohon bersejarah untuk Aceh. Penebangan pohon tersebut hal yang sulit diterima oleh akal sehat,” ujar Mizuar Mahdi, ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa).
Walaupun pohon tersebut adalah pohon yang ditanam ulang oleh Prof Dr Ibrahim Hasan pada tahun 1988, dirinya berpendapat pohon tersebut seharusnya dirawat dan dijaga.
“Pohon tersebut akan menjadi penanda dan bukti kekalahan Belanda ketika menginvansi Kerajaan Aceh tahun 1873. Dimana Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Köhler, tewas tertembak oleh prajurit Aceh di lokasi tersebut,” ujar Mizuar menyesali.
Karena pohon kohler yang sudah terlanjur ditebang, Mizuar menyarankan kepada Pemerintah Aceh untuk menanam kembali pohon serupa dan membangun sebuah meseum di lokasi tersebut.
“Museum tersebut akan menjadi monumen sebagai bukti besarnya semangat jihat bangsa Aceh dalam melawan penjajahan Belanda.” Mizuar berharap Monumen itu nantinya akan menjadi penyemangat bagi generasi Aceh dalam menata masa depan Aceh yang lebih baik. /PADEKUNENG
Komentar
Posting Komentar