Saat Perempuan Aceh Menjadi Pemimpin


SICUPAK.COMBEBERAPA orang yang saya temui, dan mendengar pendapatnya. Mereka mengatakan, bahwa dalam Islam pemimpin tidak boleh "perempuan", alasannya begana-begini, bla bla bla. Tapi menurut saya, dalam sistem pemerintahan Aceh, Indonesia, itu bukan masalah. Pemimpin perempuan sah sah saja.

Saya sudah membuka, membolak-balik google, dan beberapa buku tentang sejarah Aceh, banyak pemimpin perempuan yang pernah memimpin untuk Aceh Serambi Mekkah.

Kalau memang pemimpin perempuan tidak boleh: 'atas nama Islam', harusnya mereka juga memperjuangkan hukum-hukum Islam lainnya. Harus fair, bukan menggunakan hukum Islam pada satu sisi saja untuk kepentingan politik.

Saya mengambil salah satu petikan tulisan dari edisi koran tempo, disebutkan bahwa pemimpin dalam demokrasi modern bukanlah pengganti peran Nabi dan sama sekali tak mengemban tugas keislaman strategis. la tak lebih sebagai administrator yang bertugas mengelola urusan publik.

Jelas, Indonesia bukan negara Islam, tapi negara dengan mayoritas penduduknya adalah Islam.

Dalam demokrasi, pemimpin hanyalah eksekutif atau pelaksana mandat dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Tidak seperti khalifah yang memegang kedaulatan tertinggi, pemimpin dalam demokrasi dikontrol oleh parlemen dan kebijakannya harus tunduk kepada konstitusi.

Hal yang terpenting sebenarnya adalah tercipta pemerintahan yang bersih, amanah, bebas korupsi, dan terbangun tatanan sosial yang egaliter dan berkeadilan sosial. Itu menurut saya.

Kalau tidak sepakat dengan sistem negara ini, Siapa yang berani bangkitkan khalifah? 

Komentar