Masykur menata kembali manuskripnya dalam lemari yang sempat berhamburan saat gempa Rabu 7 Desember 2016 |
Tak lazim, Nur Asiah menghubungi Masykur (19) putranya di Banda Aceh jelang subuh. Pekan lalu, peristiswa besar mendesaknya agar segera mengirim kabar. Pusat gempa di kampung halamannya, Pidie Jaya. "Lemari jatuh, kitab-kitab berhamburan beserta keramiknya!"
Terang Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN Ar-Raniry itu gusar. Seluruh keluarganya memang selamat dari gempa berkekuatan 6,5 Skala Richter (SR), pekan lalu. Namun kondisi kitab-kitab itu, membuatnya tak tenang. Walau gempa susulan masih sering terjadi, ia tetap pilih mudik ke Gampong Blang Glong, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.
Misi utamanya, menyelamatkan warisan para ulama. Hingga hari ketiga paska gempa, ia masih sibuk mengumpulkan lembaran-lembaran manuskrip yang berserakan.
Dua buah kitab, tentang makna gempa yang terjadi di Aceh lengkap dengan waktunya. Lima kitab lainnya, sudah tercecer dan harus diatur ulang susunannya.
"Aceh memang daerah yang dekat dengan gempa, bahkan dalam kitab ini, ulama masa silam sudah mencatat kejadian-kejadian yang terjadi usai gempa," kata Masykur. Manuskrip yang paling tua, Masykur menunjukkan tahun 1700-san M, satu lainnya abad 18 M.
Dalam pemaknaan gempa, putra pasangan Syafruddin dan Nur Asiah itu tidak sepakat kalau disebut sebagai ramalan, karena menurutnya yang tercatat dalam manuskrip adalah rekaman masa lalu.
"Bukan ramalan, tapi kebiasaan -adat yang terjadi, usai gempa di waktu tertentu. Misalnya, seperti gempa subuh lalu, itu tercatat dalam tujuh manuskrip -kitab kuno yang saya punya, bahwa akan terjadi kelaparan di dalam negeri. Ini dicatat karena di masa silam, pernah mengalami hal yang serupa," jelasnya.
Dalam pemaknaan gempa yang terjadi Rabu 7 Desember 2016. Tertulis dalam kitab, jika gempa terjadi pada waktu subuh, bulan rabiul awal, maka alamatnya lapar isi negeri. "Beberapa tulisan, menunjukkan waktu hari, ada juga dalam bulan."
"Dan jika pada waktu duha sampai siang, alamatnya orang jauh akan datang ke negeri ini. Dan jika gempa pada waktu ashar, maka banyak anak-anak akan mati, dan segala binatangpun mati, dan jika pada waktu isya, maka alamatnya tidak baik, maka hendaklah memberi sedekah kepada fakir dan miskin," Masykur membacakan isi salah satu manuskripnya.
Sejak usia 17 tahun, pria bernama lengkap Masykur Bin Syafruddin, sudah mengoleksi ratusan manuskrip Aceh. Banyak pihak, mulai dari Malaysia hingga Eropa yang ingin membeli naskah kuno miliknya, namun tidak pernah diperjualnya.
Manuskrip-manuskrip yang disimpannya, ada 370, kebanyakan tertulis dalam bahasa Arab Jawi, kemudian bahasa Arab dan bahasa Turki. Selain itu, Masykur juga mengoleksi koin-koin, senjata dan keramik peninggalan, sebagian juga ikut pecah akibat gempa.
Umumnya isi naskah koleksinya tentang agama, fiqih, tasawuf, dan tauhid. Juga ada ilmu pengobatan dan ilmu perbintangan -falaq yang sangat banyak dijumpai dalam naskah kuno Aceh. Selain naskah hikayat dan sejarah.
Masykur ikut menceritakan, proses dirinya mengumpulkan naskah-naskah kuno itu, ia mengaku tertarik untuk menyelamatkan peninggalan Aceh tersebut. "Saya mendatangi rumah-rumah yang saya ketahui menyimpan manuskrip, sebagian saya beli, dan sebagian lain, menghibahkan pada saya oleh pemiliknya. Namun, saya tetap memberi mereka harga," ujarnya.
Manuskrip-manuskrip itu kini harus ditata ulang, agar tetap dihimpun pelajarannya. Diantara gempa-gempa susulan Masykur setia menjaga.[] /PADEKUNENG
Komentar
Posting Komentar