Filolog : Aceh "Lumbung Manuskrip" di Melayu-Nusantara


SICUPAK.COM l Aceh memiliki kekayaan naskah kuno atau manuskrip yang terbesar di Nusantara, tetapi terabaikan dan kurang mendapat perhatian selama ini dari pemerintah dan perguruan tinggi.
Hal ini disampaikan Hermansyah, M.Th., M.Hum, dalam orasi ilmiahnya dengan tema "Kajian Naskah Klasik di Era Modern" pada yudisium lulusan Sarjana Strata Satu (S-1) dan Diploma III Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh, semester genap Tahun Akademik 2017/2018, Rabu (15/8) di Aula Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Dalam catatan Hermansyah, ada 6000-an manuskrip yang telah teridentifikasi yag tersebar di masyarakat dan beberapa lembaga di Aceh. "Ada 3000-an manuskrip yang sudah terselamatkan dan sisanya masih luput dari perhatian," ujar Hermansyah yang juga filolog kontemporer Aceh.
Menurut Hermansyah, program restorasi yang dilakukan oleh lembaga dari Jepang mencapai seribu lima ratus naskah yang tersimpan di Museum Aceh dan berbagai kolektor pribadi. Jumlah naskah yang hampir sama juga dilakukan pada program digitalisasi naskah, lagi-lagi, dilakukan oleh pihak luar negeri.
Selain itu, kata Hermansyah Pemerintah Jerman melalui Universitas Leipzig juga mendigitalkan hampir mencapai seribu naskah dari koleksi Museum Aceh dan para kolektor yang berada di Banda Aceh dan Aceh Besar. Sedangkan program digital EAP BritishLibrary telah merekam setengah dari jumlah di atas bersumber naskah-naskah di Pidie. Kedua hasil digital program di atas kini dapat diakses gratis melalui situs mereka masing-masing.
" Beriring program katalogisasi pun dilakukan lintas lembaga dengan menampilkan katalog lebih informatif terhadap naskah. Katalog Museum Aceh, katalog Yayasan Ali Hasjmy, ZawiyahTanoh Abee dan katalog Naskah Aceh Besar telah membuka informasi awal dan pintu masuk untuk melakukan sebuah kajian manuskrip. Melalui beragam katalog inilah “investasi penelitian” terus berkelanjutan, khususnya dari luar Aceh,"kata Herman dalam orasinya.
Penting dicatat, kata Herman bahwa jumlah tersebut belum termasuk manuskrip milik pribadi yang banyak tersebar di daerah-daerah di masyarakat, yang sayangnya –sebagian mereka- sering tidak dapat diakses karena dianggap keramat. Sedangkan sebagian lagi sebagai kolektor plus pelaku bisnis transaksi naskah. Di luar jumlah di atas, inventarisir yang telah dilakukan, lebih dari empat ribu naskah masih bersemayam di tangan masyarakat dengan beragam kondisi, sebagian dari angka itu masih “bergerilya” dari satu tangan ke tangan lainnya sebagai bahan bisnis.
" Melihat kondisi tersebut, tak salah jika Aceh dijuluki sebagai “lumbung manuskrip” di Melayu-Nusantara. Wilayah paling banyak paling banyak koleksi naskah dengan jejang periode paling panjang. Maka, terlepas dari berbagai kondisi tersebut, program-program yang telah dilakukan dalam satu dasawarsa dapat dinikmati. Kini,ratusan manuskrip Aceh sudah dapat diakses secara online, ribuan naskah terkoleksi di berbagai lembaga dan personal di Aceh dapat dijangkau, belasan para kolektor pun telah membuka akses untuk dikaji.",katanya.
Namun, sayangnya bahan-bahan kajian telah tersaji dengan rapi dan berlimpah tidak diiringi dengan cukup pengembangan sumber daya manusia (SDM) dari Aceh (baca: lokal). Belum serius keberpihakan lembaga-lembaga pendidikan terhadap kajian filologi merupakan salah satu bagian tidak menelurkan kader-kader baru.
Jika hal ini terus terjadi, maka peluang tersebut akan diambil lagi oleh lembaga pendidikan luar Aceh. Padahal, melirik beberapa universitas bergengsi di luar negeri sangat antusias membuka jalur kajian filologi ini, sebut saja beberapa kampus di negara Belanda, Jerman, Inggris, USA, termasuk Malaysia.
Di Indonesia, khususnya Aceh, UIN Ar-Raniry melalui Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) sebagaileading(perintis) untuk kajian filologi kontemporer. Potensi tersebut sangat mungkin dilakukan dengan prodi, alumni dan SDM yang dimiliki disertai bahan (sumber kajian) yang cukup melimpah. Belum terlambat untuk memulainya, apalagi peluang masih tersedia dengan sangat luas. Maka, FAH dapat menjadi sentral kajian manuskrip di Nusantara dengan berbagai ragam keilmuan yang dimiliki, dan dapat dipastikan semua akan terlibat sesuai bidangnya.Semoga. [UIN Arraniry]

Komentar