Aceh Kaya Obat Tradisional


oleh : T.A. Sakti



SICUPAK.COM -- Dialog khusus TVRI-Jakarta tanggal 17 Februari 2000 pukul 21. 30 Wib., membahas peranan obat tradisional di dunia kedokteran Indonesia di masa-masa mendatang. Dialog itu dilangsungkan dalam rangka "Menyongsong Konferensi Asia Masalah Obat Tradisional" yang akan berlangsung di Jakarta pada 25 s/d 27 Februari 2000.



        Memang, dewasa ini perhatian terhadap obat tradisional semakin terus meningkat dari hari kehari. Semakin terasa, negara/daerah mana yang kalah cepat akan pasti menyesal nanti. Betapa tidak, setiap obat yang sudah memiliki hak cipta, secara hukum tentu tidak boleh dibuat hak ciptanya oleh pihak lain. Apalagi dengan pemantapan pelaksanaan hak otonomi daerah; mungkin saja akan "meramaikan" lagi soal bisnis obat tradisional ini. Daerah Aceh amat kaya dengan bahan obat tradisional. Di kawasan-kawasan terpencil, pemakaian obat tradisional masih dipraktekkan hingga sekarang.



          Dewasa ini, lirikan terhadap obat tradisional juga mulai bangkit di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan diwujudkannya "Tanaman Obat Tradisional" Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Perhatian terhadap "masalah obat" pada pemerintah Kerajaan Aceh Darussalam juga sudah amat tinggi. Namun, dulu semua bahan obat itu belum dinamakan: obat tradisional – karena belum ada obat modern – Bukti kuatnya perhatian akan masalah perobatan adalah dengan adanya tiga buah/kitab yang ditulis pada masa kesultanan Aceh.



         Pembahasan tertua – sejauh naskah yang sudah saya ketahui -mengenai obat tradisional ditulis Syekh Abdussalam pada tahun 1208 H. tulisan ini merupakan satu bab dari tujuh bab dari Kitab Tambeh Tujoh (Tujuh Tuntunan). Karya tulis kedua merupakan bagian terbesat dari Kitab Tajul Mulok (Mahkota Raja) yang ditulis oleh Syekh Ismail Aceh pada zaman sultan Ibrahim Mansur Syah (1837-1870). Kitab ini juga ditulis atas perintah sultan Aceh itu. Kitab obat paling muda dan paling tebal – 226 halaman – adalah yang diterjemahkan oleh Syekh Abbas Kuta Karang. Penterjemahannya dilakukan pada tahun 1266 H – yaitu 24 tahun sebelum pecah perang Aceh – Belanda pada tahun 1290 H. judulnya: Kitabur Rahmah fit Thibbu wal Hikmah, yakni sesuai denga judul asli dari kitab yang diterjemahkan itu.



        Secara umum, penghambat pertama untuk mengaktualkan kembali naskah-naskah lama adalah ia tertulis dalam huruf Arab Melayu (bahasa Aceh: Jawoe) yang kurang dipahami masyarakat sekarang. Penghambat kedua, yaitu nama tumbuh-tumbuhan, baik yang bahasa Melayu atau Arab yang tidak kita kenal semuanya dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya. Terhadap kitab obat "Tambeh Tujoh" bagi saya tak mengalami hambatan. Kitab ini ditulis dalam huruf Jawoe dengan bentuk syair Aceh/nadham. Kitab "Tajul Mulok" mengandung hambatan yang lumayan, karena banyak nama tanaman obat/ramuan yang tidak saya ketahui padanannya dalam bahasa Indonesia atau Aceh. Biar demikian, sebagian  kitab "Tajul Mulok" ini telah saya transliterasikan ke dalam huruf Latin. Nama-nama tumbuh-tumbuhan yang tidak saya kenal pasti, tetap saya alihkan hurufnya; namun nama aslinya dalam huruf Jawi/Arab Melayu juga saya sertakan di dalam tanda kurung. Hasil trnasliterasi ini saya beri judul "Resep Obat Orang Aceh". Tajul Mulok yang saya alihkan hurufnya adalah dicetak di Qahirah/Cairo-Mesir tahun 1938. Tajul Mulok yang beredar sekarang adalah terbitan Surabaya, Jatim.



         Mengenai kitab obat "Arrahmah…" hasil terjemahan Syekh Abbas Kuta Karang, disamping banyak hambatan untuk "menggalinya" juga mengandung sejumlah kemudahannya. Diantara kemudahannya, yaitu sebagian dari nama tanaman obat dan nama penyakit selain disebut dalam bahasa Melayu juga ada senonim namanya dalam bahasa Aceh. Bagi saya kitab ini enggan me – Latin – kannya karena agak tebal (226 halaman). Pertanyaan saya, kemanakah saya boleh/dapat mencari sponsor dana untuk biaya "menggali kembali" khazanah OBAT ALA ACEH-MELAYU itu???. T. A. Sakti



           { Catatan kemudian: Saya bersama seorang teman pada  ujung Desember 2011 telah selesai menyalin Kitaburrahmah… dalam dua macam aksara, yakni huruf Arab Melayu/Jawi alias Jawoe dan huruf Latin.  Bila dicetak nanti, akan mewujutkan sebuah buku dengan dua macam huruf pada satu halaman, yakni huruf Jawi di kiri sedangkan huruf Latin di sebelah kanannya. Saat ini sedang dikoreksi dari salah ketikan. Salah satu kendala adalah mencari para tabib yang masih tahu/mengenal sebagian nama tumbuh2an dan ramuan yang tersebut di dalamnya!. ( Namun hal itu  hampir teratasi seluruhnya. Saya telah meminta bantuan salah seorang pemilik Toko Obat "Tradisional" di Jalan Diponegoro, Banda Aceh pada hari Kamis, 4 Januari 2012 sekitar jam 13.00 siang. Berkat penjelasan beliau yang ramah dan bersimpati,  nyaris semua kekurangan itu sudah dapat diperbaiki ). Selanjutnya, tinggal menunggu pihak yang berminat mencetak/menerbitkannya!!!. 



*Bale Tambeh, 26 Desember 2011, pkl. 8.40 wib., malam, T.A. Sakti }.// Blog TA Sakti

Komentar