From Anatolia to Aceh

Foto Kota Banda Aceh dari Udara


Andrew Peacock and Annabel Gallop, masing-masing guru besar Universitas Saint Andrews Inggris dan peneliti British Library, menemukan hasil yang sangat menarik tentang sepak terjang Aceh dan Jawa dalam kancah perekonomian dunia.  Dalam buku yang baru saja mereka terbitkan tahun 2015 berjudul From Anatolia to Aceh, membuka lebar mata kita tentang kedigdayaan ekonomi Indonesia di kancah dunia yang menjadi pemicu terjadinya perang dunia sebelum abad 20.

Di Negara inilah terjadi perang dahsyat antara kekuatan-kekuatan utama dunia, Romawi Timur, Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis.  Indonesia telah menjadi polisi dunia, sekutu utama Kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, yang kemudian berubah nama menjadi Kerajaan Turki, dan Konstantinopel berubah nama menjadi Istanbul.

Lukisan suasana masa Kesultanan Ottoman di Istana Topkapi, Istanbul


Nama Anatolia berasal dari bahasa Yunani yang berarti Timur, tempat matahari terbit.  Nama Turki digunakan pertama kali pada tahun 1369, berasal dari bahasa Latin “Turchia” yang berarti Tanah bangsa Turki, istilah yang digunakan bangsa-bangsa Eropa untuk wilayah Anatolia yang dikuasai kekhalifahan Bani Seljuk setelah perang besar di Manzikert.

Anthony Reid, guru besar Australian National University, dalam penelitiannya “Rum and Jawa: The Vicissitudes of Documenting a Long-Distance Relationship” menjabarkan keintiman hubungan dua sekutu dekat ini.  Posisi kuat Indonesia ini yang menjelaskan mengapa Negara-negara kuat Eropa tidak dapat serta merta menjajah Indonesia.  Mereka datang untuk berdagang rempah-rempah dan sangat menghormati Indonesia, sampai kekuatan Turki melemah.

Jorge Santos Alves, guru besar Universidade Católica Portuguesa, dalam penelitiannya “From Istanbul with Love: Rumours, Conspiracies and Commercial Competition in Aceh–Ottoman Relations, 1550s to 1570s”, juga mencatat kuatnya posisi ekonomi dan politik Indonesia sebagai sekutu utama Turki.  Setiap upaya dagang yang bersahabat dari Negara-negara Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda diterima dengan baik.  Sebaliknya setiap upaya yang tidak bersahabat selalu dipukul mundur oleh Indonesia.

Jeyamalar Kathirithamby-Wells, peneliti Universitas Cambridge, dalam penelitiannya “Hadhrami Mediators of Ottoman Influence in Southeast Asia” juga mencatat peran para pedagang Yaman yang telah lebih dulu menetap di Indonesia memuluskan hubungan erat Indonesia dengan Turki.  Faktor Yaman ini pula yang meredam perseteruan antara Aceh dengan Kesultanan Johor dan Malaka yang dibawah pengaruh Portugis.

Di awal kemerdekaan, melalui sebuah kepanitiaan yang diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kg emas.  Dana tersebut kemudian digunakan untuk membeli sebuah pesawat Dakota dan menjadi pesawat angkut pertama yang dimiliki bangsa Indonesia. Pesawat Dakota sumbangan dari rakyat Aceh itu kemudian diberi nama Dakota RI-001 Seulawah.  Pesawat ini sangat besar jasanya dalam perjuangan awal pembentukan negara Indonesia.

Dengan pesawat inilah pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatera dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja- Payakumbuh-Maguwo. Pesawat ini juga pernah difungsikan sebagai pengangkut kadet Angkatan Laut RI dari Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung Merapi.

Kebangkitan ekonomi Aceh setelah musibah tsunami mengingatkan kembali kejayaan ekonomi Aceh.  Dalam tempo dua tahun setelah tsunami, lebih dari 6,2 trilyun dolar AS bantuan dari 70 negara mengalir ke Aceh.  Pada tahun berikutnya bantuan internasional mencapai 8 trilyun dolar AS.  Edward Aspinall, guru besar Australia National University, mencatat ini sebagai nilai terbesar dalam sejarah pembangunan Indonesia.

Bila di awal kemerdekaan rakyat Aceh menyumbangkan setara dengan 20 kg emas untuk membeli pesawat Seulawah, pada tahun 2016 Aceh akan menyumbangkan 20 trilyun tambahan asset pada industri perbankan syariah.

Proses konversi terbesar yang sedang terjadi ini merupakan tonggak baru sejarah keuangan syariah Indonesia.  Ditengah keadaan ekonomi yang belum pulih benar, konversi Bank Aceh memberikan optimisme besar.  Dampak langsung konversi ini tentu meningkatkan asset perbankan syariah nasional, dan pangsa pasar baik dari sisi asset maupun dari sisi jumlah nasabah.  Dampak tidak langsungnya adalah memberikan contoh dan motivasi bagi bank-bank daerah lainnya.

Jaqueline Aquino Siapno dalam bukunya Gender, Islam, Nationalism and the State in Aceh: The Paradox of Power, Co-optation and Resistance, mengingatkan kuatnya tradisi ekonomi Aceh yang dibentuk oleh tiga unsur utama dalam kehidupan rakyat Aceh.  Pertama, peran penting wanita. Kedua, peran penting Islam.  Ketiga peran penting rasa nasionalisme rakyat Aceh.

Terbunuhnya Jenderal Johan Köhler dan beberapa jenderal Belanda lainnya merupakan bukti kerasnya perlawanan rakyat Aceh yang ditopang oleh tiga unsur utama tersebut.  Di seluruh dunia, hanya dapat ditemui di Aceh kuburan militer Belanda terbesar di luar Negeri Belanda, the Kerkhoff Peutjoet, yang menyimpan 2200 kuburan tentara dan beberapa jenderal Belanda.

Konversi Bank Aceh mengingatkan kita pada kejayaan ekonomi Aceh, dan peristiwa heroik perlawanan terhadap penjajah, sumbangan 20 kg emas untuk membeli pesawat Seulawah, serta semangat kebangkitan dari musibah tsunami.

Semangat ekonomi Aceh terekam dalam kalimat bijak yang merujuk pada lamaran Nabi Sulaiman as kepada Ratu Shiba Bilkis. Meunyo ban ta tem meukauen, Bah keh ta meurakan, Han ta meurakan, Bah kah ta meukongsi.  Jika engkau tidak mau menikah denganku, Jadilah engkau kawanku, Jika engkau tidak mau menjadi kawanku, Jadilah engkau mitra bisnisku.

Semangat Aceh adalah semangat Indonesia.  Semangat bangsa besar yang pernah sangat disegani dunia.  Semangat menebarkan kebaikan kepada siapapun.  Apapun warna sapinya, susu sapi berwarna putih.  Apapun bangsanya, ruh nya berasal dari satu sumber Ruh yang sama.


Penulis : Adiwarman A. Karim, Pendiri Karim Consulting




Komentar