Hubungan Kesultanan Aceh Darussalam dan Turki Utsmani (Ottoman)

 

 


Wilayah Aceh dalam era modern dikenal sebagai Serambi Makkah, sebab pada masanya Aceh jadi tempat berkumpulnya calon jamaah haji nusantara yang hendak berangkat ke Makkah. Tepatnya di pulau Sabang.

Dahulu di Aceh sempat berdiri Kesultanan Samudera Pasai serta Kesultanan Aceh Darussalam. Mereka sempat mempertahankan kota- kota pelabuhan ataupun bandar- bandar dari rongrongan penjajah Portugis, sehingga perang berkecamuk.

Kemasyhuran Kesultanan Samudera Pasai serta Kesultanan Aceh Darussalam terdengar sampai ke Eropa. Pada masa Samudera Pasai, penyebaran Islam di daerah Asia Tenggara lagi berlangsung. Bermacam kesultanan yang terdapat di daerah Asia Tenggara semacam Kesultanan Sulu serta Kesultanan Maguindanao telah terkoneksi satu sama lain.

Kesuburan tanah Aceh serta sekitarnya terdengar sampai ke Eropa. Sehingga Portugis serta Spanyol dari Eropa tertarik dengan kekayaan alamnya, kemajuan serta bermacam kemampuan yang terdapat di Asia Tenggara.

Dalam catatan sejarah, Portugis sempat merebut bandar- bandar ataupun kota- kota pelabuhan yang dikelola oleh umat Islam. Sampai satu masa Samudera Pasai runtuh akibat invasi Portugis.

Setelah itu berdiri Kesultanan Aceh Darussalam yang kembali membangun kekuatan di daerah Aceh. Aceh Darussalam secara bertahap merebut kembali bandar- bandar yang dipahami Portugis di Selat Malaka.

Selat Malaka merupakan rute yang digunakan buat berlayar ke Makkah oleh jamaah haji dari Asia Tenggara, pula selaku jalan perdagangan serta jalan laut yang sangat berarti.

Perjuangan Aceh Darussalam merebut bandar- bandar strategis tersebut pula demi kepentingan umat Islam supaya pelayaran mereka ke Makkah buat melakukan ibadah haji tidak menemui hambatan.

Dalam proses peperangan melawan penjajah Portugis yang berlangsung sepanjang seratus tahun lebih, Kesultanan Aceh Darussalam menjalin ikatan serta memohon dukungan Kesultanan Turki Utsmani.

Ketua Lembaga Masyarakat Peduli Sejarah Aceh, Mizuar Mahdi dikala diwawancarai Republika pada Desember 2019 menerangkan, hubungan Kesultanan Turki Utsmani dengan Kesultanan Aceh Darussalam mungkin telah terjalin semenjak masa kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah selaku sultan awal Kesultanan Aceh Darussalam yang meninggal pada tahun 936 Hijriyah ataupun 1530 Masehi.

Sultan Alauddin Riayat Syah anak dari Sultan Ali Mughayat Syah sempat berkirim pesan ke Turki Utsmani yang diterima oleh Sultan Sulaiman al- Qanuni anak dari Sultan Selim I.

"Isi pesan tersebut berisi permintaan dorongan dari Aceh Darussalam kepada Turki Utsmani, sebab pada abad ke- 16 itu, Aceh sedang berperang dengan Portugis," kata Mizuar kepada Republika.

Dia menggambarkan, Sultan Alauddin Riayat Syah memohon Turki Utsmani mengirim ahli- ahli artileri untuk membuat meriam. Sebab pada masa itu cuma Turki Utsmani yang sanggup membuat meriam berdimensi besar. Dapat dikatakan tidak ada yang dapat menandingi meriam- meriam buatan para pakar artileri dari Turki Utsmani di masa itu.

Banyak wilayah pelabuhan (Bandar) jatuh ke tangan Portugis. Bersumber pada catatan pada kitab Tuhfat Angkatan laut (AL) Mujahidin karya Syekh Zainudin Lemari Bari dikisahkan, banyak bandar- bandar jatuh ke tangan Portugis tetapi terdapat satu bandar yang sukses direbut kembali. Yaitu Bandar Aceh Darussalam yang direbut serta dikuasai oleh Sultan Ali Mughayatsyah.

Berikutnya, Sultan Ali Mughayatsyah meluaskan pengaruhnya serta mengusir Portugis dari sebagian bandar. Perjuangan merebut bandar- bandar dari tangan Portugis dilanjutkan oleh Sultan Shalahuddin bin Ali Mughayat Syah serta Sultan Alauddin Riayat Syah bin Ali Mughayat Syah. Sampai kesimpulannya Portugis terusir dari bandar sangat strategis di Malaka.

Pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah, Kesultanan Aceh Darussalam mengirim pesan sekalian mengirim cendera mata ke Turki Utsmani. Setelah lama menunggu, utusan dari Turki Utsmani datang ke Aceh Darussalam untuk menolong perjuangan melawan penjajah.

"Dikala itu mulai ditempah meriam besar buatan Turki Utsmani yang diajarkan ke orang- orang Aceh, mulai dari sini Aceh menghasilkan meriam- meriam bercorak Turki," ucap Mizuar.

Sebagian dari utusan Turki Utsmani menetap di daerah Aceh Darussalam. Sedangkan, sebagian lagi kembali ke Turki Utsmani sehabis berakhir melakukan tugas serta kewajibannya. Semenjak itu hubungan Kesultanan Aceh Darussalam serta Turki Utsmani terus berlanjut.

Bersamaan pergantian sultan di Aceh Darussalam serta Turki Utsmani, kedua sultan ini kerap serta tidak sering berkirim pesan. Keakraban 2 kesultanan ini dipererat lagi pada abad ke- 19 ataupun masa pemerintahan Sultan Mansur Syah di Aceh Darussalam. /Republika

Komentar